“Saya miris melihat keadaan di Tabalong ini, setibanya di sini (Tanjung – red), saya justeru tidak mendapatkan apa pun bukti tentang kejayaan kerajaan Nan Sarunai,” demikian diungkapkan Syaiful Hermawan, pembicara dalam kegiatan seminar kebudayaan yang dilaksanakan Yayasan Adaro Bangun Neger (YABN) Rabu (1/6) lalu di Gedung Pertemuan PT Adaro Indonesia pembataan Tanjung.
Sejarah kerajaan Nan Sarunai terkait erat dengan kehidupan orang-orang suku Dayak Maanyan, salah satu sub suku Dayak tertua di tanah Borneo. Kerajaan Nan Sarunai adalah pemerintahan purba yang muncul dan berkembang di wilayah yang sekarang termasuk dalam daerah administratif propinsi Kalimantan Selatan, Indonesia, tepatnya di antara wilayah kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong.
Kerajaan Nan Sarunai merupakan bagian awal dari riwayat panjang Kesultanan Banjar, salah satu pemerintahan kerajaan terbesar yang pernah ada di Kalimantan Selatan.
Pemerintahan yang pertamakali menjadi cikal bakal Kesultanan Banjar adalah Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan purba yang dikelola oleh orang suku Dayak Maanyan ini disebutkan dengan nama yang berbeda-beda. Selain Nan Sarunai, nama-naman lain yang juga diyakini sebagai nama kerajaan ini adalah Kerajaan Kuripan, Kerajaan Tanjungpuri, dan Kerajaan Tabalong disertakan karena kerajaan ini terletak di tepi sungai Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan Sungai Bahan adalah anak sungai Barito yang bermuara ke laut Jawa.
Nama Nan Sarunai sendiri dimaknai dengan arti “Sangat Termasyhur” (Ideham, eds., 2003). Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran suku Dayak Maanyan di masa silam, dimana mereka terkenal sebagai kaum pelaut yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika. Selain itu, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa nama Sarunai berasal dari kata “Serunai” yakni alat musik sejenis seruling yang mempunyai tujuh lubang. Alat musik ini sering dimainkan orang-orang suku Dayak Maanyan untuk mengiringi tari-tarian dan nyanyian. Konon, Raja dan rakyat kerajaan Nan Sarunai sangat gemar menari dan menyanyi. Sebenarnya istilah lengkapnya adalah Nan Sarunai, kata “Nan” diduga berasal dari bahasa Melayu yang kemudian dalam lidah orang Maanyan dilafalkan hanya dengan ucapan Sarunai saja. Dengan demikian, nama “Nan Sarunai” berarti sebuah kerajaan dimana raja dan rakyatnya gemar bermain musik (Sutopo Ukip, 2008).
Suku Dayak Maanyan, pendiri Kerajaan Nan Sarunai, adalah salah satu sub suku Dayak tertua di Borneo, suku Dayak Maanyan termasuk dalam rumpun Ot Danum yang juga dikenal dengan nama Dayak Ngaju. Pada awalnya, orang-orang suku Dayak Maanyan menetap di tepi sungai Barito bagian timur (sekarang menjadi Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah). Oleh karena itu, orang-orang suku Dayak Maanyan mendapat sebutan Kelompok Barito Timur. Orang-orang suku Dayak Maanyan adalah kaum pelaut yang tangguh. Pada sekitar tahun 600 M, orang-orang suku Dayak Maanyan diduga pernah berlayar ke Madagaskar, sebuah pulau di pesisir timur Afrika. Pencapaian luar biasa yang berhasil dilakukan suku Dayak Maanyan ini seperti yang ditulis oleh Hudson yang menyebutkan bahwa ada kesamaan antara bahasa orang Madagaskar dengan bahasa orang Maanyan (Hudson dalam Indonesia, 4 Oktober 1967:17).
Ketangguhan melaut orang-orang suku Dayak Maanyan lama-kelamaan mulai berkurang karena terjadi proses pendangkalan di lingkungan maritim tempat mereka hidup. Areak pesisir yang selama ini menjadi lingkungan mereka sehari-hari mengalami penyurutan dan perlahan-lahan berubah menjadi daratan sehingga orang-orang Dayak Maanyan kehilangan budaya maritim yang dulu mereka miliki. Pada zaman purba, wilayah Kalimantan bagian tengah masih berwujud teluk besar. Fenomena pendangkalan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Dayak Maanyan. Daerah tujuan para imigran suku Dayak Maanyan adalah di tempat yang dalam Hikayat Banjar disebut dengan nama Pulau Hujung Tanah. Sedangkan Negarakertagama kaya pujangga Majapahit, Mpu Prapanca, yang ditulis pada tahun 1365 M, menyebut tempat itu sebagai Tanjung Negara (http://banjarcyber.tripod.com). Terdapat dua lokasi di masa sekarang yang diperkirakan merupakan bekas wilayah Pulau Hujung Tanah, yakni Amuntai dan Tanjung, yang keduanya terletak tidak jauh dari pegunungan Meratus yang memang dikisahkan membentang di timur Pulau Hujung Tanah, tempat dimana Kerajaan Nan Sarunai berdiri.
Orang-orang suku Dayak Mongoloid yang merupakan gelombang migrasi orang-orang Dayak pertama ke wilayah Kalimantan Selatan. Peradaban suku Dayak Maanyan dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di Gua Batu Babi di Kabupaten Tabalong (Tajuddin Noor Ganie, 2009). Penelitian tentang “ekskavasi Situs Gua Babi Tahap V Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan” yang dilakukan oleh Harry Widianto dan Hadini (1999/2000) menyebutkan bahwa banyak sekali peninggalan bersejarah yang ditemukan di Gua Babi, antara lain berupa artefak batu, tulang, komponen tubuh manusia, dan cangkang moluska (Widianto & Handini, dalam Laporan Penelitian Arkeologi Banjarmasin, 1999/2000).
Sejauh ini belum banyak referensi yang bersifat ilmiah dan secara proporsional menjelaskan tentang riwayat Kerajaan Nan Sarunai mengingat usia kerajaan ini yang sudah sangat tua. Sumber-sumber yang digunakan selama ini adalah cerita tutur yang termaktub dalam Hikayat Banjar. Hikayat Banjar adalah manuskrip tua yang telah lama dikenal di Kalimantan Selatan sejak zaman Kesultanan Banjar. Riwayat Nan Sarunai sangat sedikit disinggung, terutama menjelang keruntuhannya. Kisah tentang Kerajaan Nan Sarunai dalam Hikayat Banjar lebih menyerupai tradisi lisan, yakni nyanyian Suku Dayak Maanyan (wadian) yang kemudian ditransformasikan secara turun temurun. Tradisi lisan orang Dayak Maanyan mengisahkan bahwa mereka sudah memiliki negara suku bernama Nan Sarunai (MZ Arifin Anis, 1994). Nyanyian wadian menceritakan peristiwa tragis tentang runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai akibat serangan dari Kerajaan Majapahit pada sekitar abad ke-13 (Ideham, /eds., /2007:16). Menurut Johannes Jacobus Ras (1968).
Salah satu bukti adalah ditemukannya peninggalan arkeologis yang diduga kuat berasal dari zaman di mana Kerajaan Nan Sarunai masih eksis. Jejak arkeologis Nan Sarunai di masa purba itu adalah sebuah candi yang ditemukan di Amuntai. Amuntai adalah salah satu tempat yang sangat mungkin menjadi tempat bermukim orang-orang Suku Dayak Maanyan yang kemudian mendirikan peradaban Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun 1996, dilakukan pengujian terhadap candi tersebut. Hasil penyelidikan itu cukup mengejutkan karena hasil pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai tersebut menghasilkan kisaran angka tahun antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi (Kusmartono & Widianto, 1998:19-20). Jika penelitian ini benar adanya, maka usia Kerajaan Nan Sarunai jauh lebih tua dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur (berdiri pada abad ke-5 M) yang selama ini diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
1 komentar:
Informasi nya bermanfaat dan juga menambh wawasan d.banua tabalong
Posting Komentar