TANJUNG, SB – Kesenian tradisional Lamut hampir punah. Generasi penerus dari kalangan anak muda yang diharapkan dapat melestarikan budaya tersebut nyaris tidak ada.
Hal itu disampaikan Syaiful Hermawan dari Unlam Banjarmasin Rabu (1/7) kemarin di aula gedung pertemuan PT Adaro Indonesia Pembataan Tanjung.
Ia mengaku akan melakukan berusaha merevitalisasi kesenian Lamut, namun kesulitan mencari literatur terkait seni tradisional yang sepintas mirip Madihin tersebut di tanah air. Hal ini salah satunya merupakan buah tidak adanya keberpihakan pemerintah untuk melestarikan budaya daerah. Untuk itulah dalam waktu dekat ini, dirinya akan berangkat ke Belanda guna mencari literatur seni tradisional Balamut di negeri Kincir Angin itu.
“Di sana seluruh data kultur budaya malah dicatat secara lengkap sebagai salah satu wilayah bekas jajahannya,” jelas Syaiful yang juga dikenal sebagai seniman dan budayawan.
Arsyad Indradi, pengarang kumpulan Puisi Bahasa Banjar dan Penyunting Antologi Penyair Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan pun merasakan kekhawatiran yang sama.
Ia mengatakan bahwa kesenian Lamut yang merupakan salah satu Sastra Banjar atau dikatakan juga cerita bertutur sudah di ambang kepunahan, karena sudah tidak ada lagi orang yang berminat untuk menjadi Palamutan (Pembawa Sastra Lamut) di samping tidak adanya kepedulian lembaga pemerintah maupun lembaga seni untuk melestarikannya,
Menurut Arsyad, isltilah Lamut diambil dari nama seorang tokoh cerita di dalamnya, yaitu Paman Lamut, seorang tokoh yang menjadi panutan, sesepuh, baik di lingkungan kerajaan atau pun masyarakat, seperti halnya Semar dalam cerita wayang.
Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa lamut berasal dari kesenian Dundam yaitu cerita bertutur dengan menggunakan instrumen perkusi yaitu Tarbang, Bercerita sambil membunyikan ( memukul ) alat tersebut.
Konon, Pendundam ketika membawakan ceritanya tidak tampak atau samar-samar dalam gelap. Cerita yang dibawakan adalah dongeng kerajaan Antah Berantah. Sedang Balamut tampak oleh penonton dan ceritanya menurut pakem yang ada walau tak tertulis. Cerita yang masih ada dalam ingatan masyarakat Banjar antara lain tentang percintaan Kasan Mandi dengan Galuh Putri Jung Masari.
Lamut diperkirakan sudah ada antara tahun 1500 M - 1800 Masehi tetapi belum menggunakan tarbang. Ketika Agama Islam masuk ke Kalimantan Selatan, pasca pemerintahan Sultan Suriansyah, barulah Lamut memakai tarbang, yang dipengaruhi kesenian Islam seperti Hadrah dan Burdah.
Ketika Sultan Suriansyah masuk Islam, banyak kebudayaan dan kesenian Jawa yaitu dari Demak ( Jawa Tengah ) berbaur pada kebudayaan dan kesenian Banjar, maka tak heran Lamut mendapat pengaruh juga dari Wayang Kulit yaitu dialognya mirip dialek wayang.
Ternyata menurut Arsyad, Lamut bukan saja berkembang di seluruh pelosok Kalimantan Selatan tetapi juga sampai di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Lamut biasaya ditampilkan pada malam hari sebagai hiburan masyarakat dalam berbagai perhelatan dengan durai 3 – 5 jam.
Palamutan membawakan cerita duduk di sebuah meja kecil bernama cacampan berukuran 1,5 x 2 meter. Cacampan ini diberi titilaman (tilam kecil).
Dahulu, di hadapan Palamutan disediakan Parapen (perapian) dupa kemenyan yang selalu berasap dan sebiji kelapa muda yang sudah dipangkas untuk minuman Palamutan. Penonton lamut biasanya duduk melingkar seperti tapal kuda.
Lamut termasuk juga teater tutur yang mempunyai komponen cerita, sutradara atau dalang, penokohan, penonton, dan tempat pertunjukan. Pelamutan sekaligus sebagai sutradara atau dalang yang menciptakan karakter meskipun sudah ada pada pakem.
Lamut termasuk juga teater tutur yang mempunyai komponen cerita, sutradara atau dalang, penokohan, penonton, dan tempat pertunjukan. Pelamutan sekaligus sebagai sutradara atau dalang yang menciptakan karakter meskipun sudah ada pada pakem.
Pada masanya, di samping sebagai hiburan, kesenian Lamut juga berfungsi sebagai media dakwah agama Islam yang terkadang juga memuat pesan-pesan pemerintah maupun yang punya hajat.
Selain itu Lamut juga berfungsi sebagai Penyampir, yaitu tradisi bagi keturunan Palamutan, dan sebagai media pendidikan.
Lamut juga memiliki struktur lakon, yaitu didahului dengan membunyikan Tarbang lalu syair dan pantun pembuka, dilanjutkan dengan narasi sampai akhirnya masuk ke cerita utama diselingi lelucon lalu diakhiri dengan bunyi tarbang yang dinamis.
Cerita pada lamut merupakan cerita terdahulu dari turun temurun, pakem yang tidak tertulis. Sebab tidak ada buku–buku yang merupakan pakem cerita lamut.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar