Sabtu, 27 November 2010

Adaro Tersentuh Makam Leluhur Dayak


Dianggap Menghina Pribumi

Tutupan, AB -- Kuasa Pertambangan (KP) PT Adaro Group yang semakin meluas beberapa waktu lalu kini kembali menuai masalah.

Sebuah pekuburan tua yang diyakini masyarakat Dayak sebagai lokasi makam para leluhur mereka baru-baru tadi di lahan itu terbongkar akibat ekskavasi alat berat PT Buma di wilayah titik koordinat EN itu.
Kontan saja hal tersebut membuat berang warga Dayak. Setelah mendapat laporan, Senin lalu (12/10) beberapa warga Dayak bergegas menuju lokasi, di TKP Haul Road KM 84 warga Dayak menemukan sejumlah bukti bekas-bekas makam yang terbongkar seperti ditemukannya potongan-potongan kayu ulin yang diduga sebagai kepingan kayu batur (nisan), peti mati, keris dan mandau yang sudah berkarat dimakan usia.
Pada hari itu juga menurut seorang warga Dayak yang enggan dikorankan, menjelang senja masyarakat adat mengadakan Palas Kubur dan selanjutnya meminta kepada pihak perusahaan agar menghentikan segala aktifitas yang ada di areal tersebut sampai seluruh tulang belulang dipindahkan ke tempat lain yang belum ditentukan letaknya melalui sebuah upacara khusus menurut adat dayak Lawangan.

Sumber tersebut juga menuturkan bahwa sebelumnya sejumlah barang temuan awal di pekuburan kuno tersebut sempat dipegang secara terpisah oleh beberapa oknum perusahaan dengan maksud-maksud yang belum diketahui, di antaranya berupa pusaka mandau, mangkok keramik, kepingan uang zaman dulu, dan beberapa besi tua sebelum akhirnya diambil kembali oleh para ahli waris.

Salah seorang tokoh adat masyarakat Dayak, Eddy Horn Udoy mempertanyakan hal itu. “Kenapa barang-barangnya diambil, tetapi tulang-tulangnya malah dibiarkan berserakan, bahkan ada kesan ditimbun kembali? Ini sama dengan penghinaan terhadap suku Dayak”, ujarnya berang saat bersama AB melakukan pengecekan di lokasi kejadian Minggu lalu (17/10) dari pukul 13.00 hingga pukul 17.00 Wita.

Pada hari itu juga dilakukan penentuan luas sterilisasi sementara dimana tidak boleh ada aktifitas apa pun terkait penambangan oleh tokoh adat Dayak itu yang luasnya mencapai 3 ha atau kurang lebih 30.000 m² dengan rincian dari Barat ke Timur 300 m, dan Utara Selatan 100 m.

Dikisahkan bahwa di antara banyaknya makam yang ada di sana, terdapat makam seorang tokoh Panglima Dayak yang melegenda dan amat disegani di masanya bergelar Lang Seta. Beliau menetap di sana hingga wafatnya beserta dengan tiga orang kakaknya yakni Lang (Panglima) Singapati, Lang Buana, dan Lang Suta.

Berdasarkan garis keturunan, Panglima Dayak tersebut masih ada hubungan kekerabatan bahkan diceritakan masih saudara sepupu dengan Patih Bantar (Datu Jangkung) dan Datu Galiba di kawasan Tanjung Tengah (Belakang SMPN 1 Tanjung), Datu Harung, Datu Balimbing, Datu Pujung, Pambalah Batung, Garuntung Manau di wilayah Balangan serta para Datu lainnya saat terjadi kekacauan di Kerajaan Banjar tidak lama setelah masuknya agama Islam.

Mereka terpencar hingga ke hulu Sungai dan sampai di kawasan itu yang dahulunya terkenal dengan sebutan kampung Mangguling, karena masih mempertahankan keyakinannya dan enggan memeluk agama baru (Islam). Kata ‘Mangaling’ menurut seorang warga Dayak berasal dari akar kata ‘Ma’ yang artinya ‘Abah’ (ayah, red) dan ‘Ngaling’ yang merupakan nama orang. Jadi Mangaling memiliki makna harfiah Abah Ngaling.

Cerita dari mulut ke mulut terutama dari penuturan para pemburu menyebutkan bahwa di tempat itu juga merupakan tempat kediaman seekor Pelanduk jadi-jadian bernama ‘Si Ribut’ yang kebal senjata. “Kalau rusa ini merasa terganggu oleh para pemburu apalagi sampai tertembak, paling lama berselang 5 menit akan datang angin ribut dan hujan yang sangat deras. Anehnya hujan hanya mengguyur tempat itu,” tutur seorang bekas pemburu menceritakan pengalamannya beberapa tahun lalu.

Sebagian besar barang yang ditemukan di sana diduga berasal dari makam Panglima dayak bernama Lang Seta tersebut. Menurut Eddy Horn Udoy yang merupakan ciri khusus dan membedakannya dari makam masyarakat biasa adalah adanya gelang di tulang pergelangan tangannya yang dipastikan sebagai gelang Balian yang hanya boleh dipakai oleh Panglima.

Meski belum dilakukan penelitian khusus, melihat pada mangkok porselen yang ditemukan Eddy memperkirakan bahwa Datu Mambas wafat antara tahun 1800-an hingga tahun 1910 M (200 tahun lebih).

Dalam waktu dekat, seluruh tokoh Dayak khususnya yang ada di Tabalong rencananya akan mengadakan rapat untuk merapatkan barisan dan mendesak kepada PT Adaro Indonesia agar membantu pemindahan makam tersebut.

“Kami minta kepada pihak perusahaan agar sesegeranya bisa menemukan seluruh kerangka yang tersisa. Kalau memungkinkan dengan menggunanakan Jet Pump, agar tulang belulang maupun barang yang tersisa tidak hancur untuk kemudian dipindahkan ke tempat yang layak melalui acara ritual,” tegas Eddy.

Selanjutnya masyarakat Dayak juga meminta agar PT Adaro bersedia membangunkan sebuah Balai Adat agar mudah mengingat dan sebagai tempat pertemuan keadatan, dimana rencananya seluruh kerangka akan dimakamkan di sebelahnya.

Adapun seluruh barang temuan akan kembali dikuburkan bersama jasadnya masing-masing, karena menurut Eddy Horn Udoy dalam kepercayaan mereka itu sudah merupakan bekal mereka saat meninggalkan dunia ini. Jadi menyimpannya secara pribadi maupun menempatkan di dalam Balai Adat atau Museum adalah sudah jelas menyalahi Adat.

Berdasarrkan pantauan AB, pihak adat dan perusahaan baru-baru tadi sekitar pukul 20.00 wita telah membuat Berita Acara Kesepakatan bahwa tidak akan ada aktifitas di wilayah Mangguling sampai seluruh isi makam berhasil dipindahkan.

Informasi terbaru yang didapat media ini menyebutkan bahwa lokasi penemuan kuburan tersebut sebenarnya merupakan area yang dikenal dalam sebagai istilah Zona Merah yang tidak boleh ditambang karena berdekatan dengan boster pipa pengiriman minyak milik PT Pertamina ke Balikpapan.

Pihak perusahaan menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada istilah pembongkaran makam, “Sebelumnya di tempat itu terjadi longsoran yang kemudian berusaha dirapikan oleh PT Buma (Subcont Adaro, red). Pada saat meeting di view point tiba-tiba muncul seekor kera kecil jenis ‘Bangkui’ tepat di lokasi temuan awal keramik berupa mangkok seakan-akan mau memberitahukan sesuatu. Tujuan awal para pekerja yang semula ingin menangkap kera itu berubah dengan meneruskan untuk menggali tempat tersebut, sampai akhirnya diketahui kalau tempat itu merupakan lokasi makam tua warga Dayak,” jelasnya.

Diperkirakan di arah Selatan lokasi tersebut masih banyak tulang-belulang masyarakat Dayak zaman dulu yang merupakan bagian dari warga Dayak Warukin dan Halong yang bercocok tanam di sana. (AB

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
Tambah Yuk
Widget by IB | Template Design

Artikel Terkait:

Widget by:IB | Template Design

0 komentar:

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design