Oleh Hidayatullah Muttaqin
Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek sebagaimana dipetik Kompas (5/2/2010) menceritakan keluh kesahnya tentang ironi pemanfaatan sumber daya alam (SDA) propinsi tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat Badan Anggaran DPR (4/2/2010). Ia mencontohkan, bagaimana sebuah perusahaan tambang batubara di propinsi tersebut setiap tahunnya dapat menghasilkan batubara sebanyak 45 juta ton, tetapi pemasaran hasilnya hanya 5% untuk kebutuhan dalam negeri sedangkan 95% ditujukan untuk ekspor.
Selama ini, daerah-daerah penghasil batubara seperti Kalimanan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan justru mendapatkan pasokan batubara yang sangat minim. Propinsi Kalimantan Selatan misalnya hampir setiap hari mengalami pemadaman listrik. Padahal 25% cadangan batubara nasional ada di propinsi ini.
Eksploitasi batubara di Indonesia khususnya di Kalimatan Timur dan Kalimantan Selatan dilakukan secara “gila-gilaan”. Betapa tidak, kerakusan perusahaan tambang bahkan sampai memasuki kawasan Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto yang dikelola Universitas Mularwarman Samarinda untuk keperluan pendidikan dan penelitian. Hutan seluas 40 kali lapangan sepabola tersebut atau sekitar 20.271 hektar sedang dalam proses penghancuran. ”Kami tidak mampu menghentikan kerakusan ini. Kewenangan kami cuma memakai hutan ini untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, tidak lain dari itu,” kata Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul) Chandradewana Boer.
Begitu pula Kalimantan Selatan, propinsi yang memiliki hamparan Pegunungan Meratus yang berisi batubara dengan jumlahnya tak terkira sedang “diperkosa” habis-habisan oleh perusahaan tambang batubara. Pegunungan Meratus yang luasnya mencapai 1,6 juta hektar mencakup sembilan dari 13 kabupaten/kota di propinsi ini, sedangkan hutan alam yang masih bertahan kurang dari 500.000 hektar. Dari sembilan kabupaten tersebut tujuh di antaranya sudah mengeluarkan ratusan izin pertambangan batubara dan bijih besi. Akibatnya daerah pegunungan Meratus pun mengalami kerusakan amat parah. Hutan menjadi gundul dengan danau-danau hitam ataupun kubangan-kubangan raksasa dengan diameter mencapai ratusan meter.
Negeri Kaya yang Membuang Sumber Energi
Berdasarkan data Coal Statistics, batubara merupakan primadona sumber energi dunia. Batubara menyediakan 26,5% sumber energi primer. Batubara juga menghidupkan 41,5% pembangkit listrik di seluruh dunia. Ini artinya keberadaan batubara sanga vital. Namun sangat disayangkan pemanfaatan batubara untuk kepentingan nasional dan lokal sangat dianaktirikan, sedangkan yang tersisa adalah kerusakan lingkungan dan bencana alam.
Estimasi 2008 World Coal Institute, Indonesia menempati posisi ke enam sebagai produsen batubara dunia dengan jumlah produksi mencapai 246 juta ton, peringkat pertama ditempati China dengan jumlah produksi 2.761 juta ton, disusul AS 1007 juta ton, dan India 490 juta ton, Australia 325 juta ton, Rusia 247 juta ton. Ekspotir batubara terbesar dunia ditempati Australia 252 juta ton, Indonesia peringkat kedua dengan jumlah ekspor 203 juta ton. Sedangkan China sebagai produsen batubara terbesar dunia, hanya menempati peringkat ke tujuh sebagai eksportir dengan jumlah 47 juta ton.
Data ini memiliki arti relevansi kuat terhadap kerusakan lingkungan, eksploitasi, dan minimnya pemanfaatan batubara untuk kepentingan rakyat Indonesia. Meskipun hasil batubara cukup besar setiap tahunnya namun lebih banyak ditujukan untuk pasar ekspor. Hal ini terlihat dari 246 juta ton produksi batubara, 82,52% disediakan untuk pasar ekspor sisanya baru digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Karena itu pasokan batubara untuk pembangkit listrik cukup minim. Perusahaan tambang hanya melihat di mana harga batubara yang paling menarik di situlah mereka akan memasarkan batubaranya.
Berbeda dengan Indonesia, China sebagai produsen batubara terbesar dunia yang jumlah produksinya lebih dari 11 kali produksi batubara Indonesia mengalokasikan 98,3% batubaranya untuk kepentingan dalam negeri dan hanya 1,7% yang diekspor.
Dari perbandingan pola pemanfaatan batubara tersebut, terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara Indonesia dengan China. Hasilnya, perekonomian China jauh melejit meninggalkan Indonesia. Bahkan dalam konteks ACFTA (perdagangan bebas ASEAN dengan China) yang dimulai awal tahun ini, China menjadi ancaman berat bagi perekonomian Indonesia di tengah masalah kelistrikan yang masih membelilit negeri kita. Sementara setiap tahunnya Indonesia terus “membuang” salah satu sumber energinya ini ke luar negeri.
Akar Masalah
Inilah masalah utama negara kita yang tidak memiliki “visi” bagaimana memanfaatkan sumber daya alam batubara untuk kepentingan rakyat. Negara justru menjadi alat Kapitalisme untuk menghisap dan mengeksploitasi kekayaan nasional tersebut.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 merupakan salah satu contoh negara telah menjadi alat hisap Kapitalisme. Dalam PP ini, negara memberikan kesempatan luas kepada perusahaan-perusahaan tambang untuk melakukan kegiatan tambang di kawasan hutan lindung. Akibatnya perusahaan tambang batubara memiliki kesempatan luas dan legal untuk melakukan kegiatan pertambangan walaupun di kawasan hutan lindung. Dan faktanya kawasan hutan lindung di Indonesia khususnya daratan Kalimantan menyimpan kekayaan barang tambang yang sangat melimpah.
Selain problem pemerintahan yang tidak memiliki visi untuk rakyat (laisses faire-pro Kapitalis), negara kita juga melakukan kesalahan fatal dengan menjadikan sumber daya alam yang melimpah dan strategis sebagai kepemilikan yang dapat dikuasai oleh swasta dan asing. Akibatnya apakah eksploitasi batubara untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor, hasilnya tidak jatuh ke tangan rakyat tetapi jatuh ke tangan swasta dan asing.
Visi Syariah
Dari perspektif Syariah, tambang batubara dalam jumlah besar merupakan milik rakyat. Dalam hadist riwayat Abu Daud, disebutkan “Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.” Yang dimaksud dengan api adalah sumber daya energi. Batubara termasuk sumber daya energi. Karena itu tambang batubara yang cukup besar sudah seharusnya menjadi milik bersama, yakni milik rakyat.
Larangan menguasai barang tambang yang melimpah bagi individu dipertegas oleh hadis Nabi SAW yang lain. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah saw kemudian menarik kembali tambang tersebut darinya. (HR. At-Tirmidzi).
Berdasarkan aturan Syariah tentang barang tambang tersebut, maka tambang batubara yang cukup besar (termasuk tambang minyak dan gas bumi, bijih besi, alumunium, nikel, uranium, dan lain-lainnya) merupakan milik bersama (milik umum) sehingga tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu (swasta) dan asing. Makna milik umum juga membatasi bahwa kepemilikannya tidak di tangan pemerintah/negara tetapi di tangan rakyat. Hanya saja, negara berkewajiban mengelolakan harta milik umum untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat sesuai Syariah Islam.
Dengan menyerahkan pemilikan atau penguasaan batubara ke tangan swasta dan asing yang dilakukan secara legal maupun ilegal, maka negara telah melakukan kemunkaran karena kebijakan tersebut bertentangan dengan hukum Allah. Hal ini diperparah dengan tidak adanya visi dan political will pemerintah untuk menjaga kemaslahatan rakyat termasuk di dalamnya kemandirian energi dan ekonomi. Padahal fungsi negara di dalam Islam adalah ri’ayah su’unil ummah (melayani rakyat) bukan melayani pasar (baca: investor) dan bukan juga melayani penguasa.
“Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Terbaliknya fungsi negara saat ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan sia-sianya kekayaan batubara bagi rakyat. Liberalisasi ekonomi dengan memindahkan penguasaan dan pemanfaatan tambang batubara ke tangan perusahaan tambang serta membatasi peran negara hanya sebagai alat untuk melegalisasi kerakusan demi kerakusan pemilik modal adalah sebab utama hilangnya fungsi negara.
Di sinilah pengelola negara telah melakukan kecurangan dan selalu menyulitkan kehidupan rakyatnya. Tidak sedikit izin pertambangan yang mereka berikan berujung pada perburuan rente atau untuk memperkaya diri sendiri.
“Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati, sedangkan dia menipu mereka (umat) maka Allah akan mengharamkan ia masuk ke dalam surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kesimpulan
Melayangnya batubara Indonesia disebabkan oleh tidak adanya visi batubara untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan negara, serta kesalahan fatal tata kelola ekonomi yang menyerahkan kepemilikan dan penguasaan tambang kepada pemilik modal. Hal ini terjadi karena negara menjadi subordinasi pemilik modal dan tunduk pada kepentingan-kepentingan Kapitalisme global.
Karena itu Indonesia harus memiliki visi Syariah dan mengadopsi sistem kepemilikan umum sehingga kekayaan batubara nasional dapat digunakan untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan rakyat secara adil. Untuk mencapai tujuan tersebut, transformasi sistem harus dilakukan dari Kapitalisme-Liberalisme menjadi Syariah di bawah sistem Khilafah.
REFERENSI:
Kompas (5 Februari 2010), Kenakan Pajak Tinggi.
Kompas (25 Januari 2010), Kami Tak Sanggup Menghentikan Kerakusan Ini…
Kompas (26 Januari 2010), Tetap Gelap di Lokasi Dekat Jantung Tambang.
World Coal Institute, Coal Statistics.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
0 komentar:
Posting Komentar