Sabtu, 26 Februari 2011

Sejarah Dan Kontroversi Ahmadiyah

Ahmadiyah merupakan sekte atau gerakan sempalan dalam Islamyang menggeliat di awal abad 20, tepatnya pada 1889, di mana lahir Jemaat Muslim Ahmadiyah. Akarnya adalah sebagian keyakinan bahwa akhir zaman telah tiba, dan pembawa gerakan ini Mirza Ghulam Ahmad merupakan orang yang terpilih sebagai Messiah atau dalam keyakinan Islam disebut sebagai Al-Mahdi yang akan menuntun umat manusia kepada Islam sebenarnya.

Ajaran yang mengambil Islam Sunni sebagai rujukan ini berkembang di Inggris, tentu saja berkat kebijakan kolonialis Inggris di tanah Hindustan, yang tidak begitu mencampuri urusan Agama dan keyakinan. Faktanya, pada masa itu, umat Islam di tanah Hindustanlebih memperhatikan bagaimana hubungan antara kaum Muslim dan Hindu, setelah kerajaan Mughal sebagai kerajaan Islam terakhir di India jatuh di bawah kaki Inggris.
Pada babakan berikutnya, jamaah Ahmadiyah terbagi dalam dua kepemimpinan. Yakni Jamaah Ahmadiyah di Qodyan, dan Jamaah Ahmadiyah di Lahore. Secara prinsip tidak ada perbedaan mendasar dari keduanya. Namun yang lebih prinsipil, jemaah Lahore tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, melainkan sebagai pembaharu saja.
Berkembang di Tengah Ketidakpastian
Faktor lain yang menumbuhkembangkankan gerakan Ahmadiyah adalah jatuhnya kekhalifahan Usmaniyah. Kemudian, diikuti dengan dikuasainya Ka’bah di Mekkah oleh keluarga Saud yang menginduk gerakan Islam Wahabbi.
Selain itu, terdapat gerakan pembaharuan pan-Islamisme yang dibawakan oleh Jamaludin Al Afghani menegaskan bahwa Islam tidak harus berbentuk Kekhalifahan, sehingga muslim di dunia berhak membangun negara atau bangsanya sendiri. Maka di penjuru bumi muncullah gerakan Islam serupa yang membawa jenis pemimpin rohaniyang bermacam-macam bentuknya, dari Salafi, Mujadidi, Tarikat, Sufi, dsb.
Situasi umat Islam sangat tidak jelas. Harus menginduk ke mana? Harus mengacu kepada siapa? Karena itulah ketika Mirja Ghulam Ahmad mengakui bahwa dirinya adalah salah seorang pembaharu Islam, hal ini sangat menarik bagi umat muslim Hindustan yang membutuhkan kepastian kepemimpinan rohani.
Ajaran Mirza Ghulam Ahmad mendapat tempat, karena memang situasi umat Islam pascaruntuhnya kekhalifahan terakhir begitu menderita di tengah kolonialisme barat. Bagi umat Islam pengikut Mirza Ghulam Ahmad, kondisi dunia seolah mendekati kiamat. Maka tidak heran ajaran Ahmadiyah tumbuh pesat. Saat ini di Pakistan saja pengikutnya berjumlah 4 juta Jiwa. Dan secara keseluruhan di dunia jumlah pengikutnya mencapai 150 juta orang.
Kontroversi Aqidah
Sisi kontroversial dari keyakinan yang dibawa oleh pembaharuan gerakan Ahmadiyah adalah status dari Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Dirinya mengakui mendapatkan nubuwat atau ilham kenabian. Padahal Islam menolak Nabi dan Rasul lain setelah Muhammad SAW.
Selain itu, terdapat beberapa perbedaan mencolok dari keyakinan Islam secara umum, yang berkaitan dengan masalah nubuwat mengenai kiamat, dan beberapa permasalahan dasar Aqidah, yang bagi umat Islam sudah final tidak bisa diutak-atik lagi.
Bersamaan dengan kontroversi itu. Adalah rentetan kekerasan atas nama Agama di seluruh penjuru dunia. Karena bagi umat Islammainstream, apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah merupakan penodaan terhadap kesucian Islam. Tidak heran umat Islam mengabaikan sumbangsih yang telah diberikan oleh pengikut Ahmadiyah, dan menyebutnya sebagai sumbangsih dari nonmuslim.
Saat Ini
Memasuki tahun-tahun awal millenium, ajaran mengenai hari akhir masih laku dijual. Bahkan, film tentang kiamat dengan spesial efek yang hebat: 2012 dikerumuni antrean penonton. Ini bisa dikategorikan bahwa ajaran Ahmadiyah masih bisa bertahan hidup dan semakin banyak pengikutnya. Walaupun, tidak semua kalangan mengindikasikannya demikian.
Ajaran Ahmadiyah ini ditolak di banyak negara Muslim, termasuk di Indonesia. Tetapi, dengan lindungan kebebasan dan humanisme yang modern, aksi menghalangi peribadatan Ahmadiyah, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Ahmadiyah, adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Berdirinya Ahmadiyah Pakistan yang dipimpin Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), dilatarbelakangi tiga faktor. Pertama, kolonialisme Inggris di benua Asia Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala bidang. Dan ketiga, proses kristenisasi oleh kaum misionaris. Dari latar belakang sejarah, munculnya Ahmadiyah mirip kelahiran Muhammadiyah (Dawam Rahardjo, islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850).
Penyebaran Ahmadiyah di Indonesia bermula dari kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 untuk menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Beberapa pemikiran Ahmadiyah menarik perhatian banyak orang, terutama yang berkaitan dengan isu kedatangan Mesias atau Al asih.
Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, mengunjungi Jogja dan Solo untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Perdebatan mulai muncul dan tuduhan penyimpangan ajaran Islam untuk pertama kali diungkapkan. Meskipun terjadi perbedaan pendapat, pada tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy'ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Hasyim Asy'ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) tahun 1926 (Herman Beck, 2005).
Jika dilihat dari sejarahnya, Ahmadiyah didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dua kelompok Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir. Walau tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah, faktanya sejak pernyataan ini dikeluarkan hubungan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah menjadi putus.
Perkembangan Ahmadiyah tidak menjadi surut dengan adanya fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Pada tahun 1930, pemerintah kolonial memberikan pengakuan terhadap Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di Thailand.
Di tahun yang sama, hubungan Ahmadiyah dengan Syarikat Islam (SI) pimpinan HOS Tjokroaminoto semakin menguat. Ketika Pemimpin SI, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930, kata pengantar diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Kemudian, ketika ketepatan terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah, giliran pimpinan Ahmadiyah yang memberikan dukungan kepada Tjokroaminoto. Belakangan, hubungan antara kedua organisasi ini merenggang, namun bukan karena masalah keimanan melainkan perbedaan dalam memposisikan pemerintah kolonial. SI dengan tegas menentang pemerintah kolonial sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada kekuasaan Hindia Belanda.
Sejak diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, Ahmadiyah terus berkembang dalam dua kelompok aliran, yaitu :
1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi.
2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam.
Ancaman bagi Kebebasan Beragama dalam Alam Demokrasi
Selain mendapatkan pengakuan dari pemerintah kolonial, Ahmadiyah juga telah berbadan hukum melalui sejak dikeluarkannya SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953 bahkan pada tahun 2003 diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. (Dawam Raharjo dalamhttp://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850)
Namun pengakuan dari negara ternyata tidak memiliki nilai di mata para penentang Ahmadiyah. Bayangkan, di atas pengakuan negara terhadap keberadaannya, Ahmadiyah terus mendapatkan serangan dan teror. Perusakan tempat ibadah, rumah pribadi, aset-aset organisasi bahkan penghilangan nyawa, adalah harga yang harus dibayar oleh pengikut Ahmadiyah, yang juga warga negara Indonesia, hanya karena ia memiliki kepercayaan yang berbeda dengan yang lain.
Beberapa faktor bisa disebutkan sebagai penyebab bertambah parahnya konflik ini. Namun salah satu faktor yang paling penting adalah adanya fatwa MUI pada tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah berada ”di luar” Islam. Fatwa ini kemudian diperkuat dengan fatwa baru hasil Munas VII MUI tahun 2005 yang mengharamkan Ahmadiyah. Sejak itu, kekerasan dan teror tak terbendung lagi.
Perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa pemerintah juga ikut terpancing untuk ikut melarang Ahmadiyah. Dimulai dengan keputusan Bakorpakem yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang, dilanjutkan dengan upaya untuk mengeluarkan keputusan bersama tiga menteri (SKB) yang melarang Ahmadiyah.
Jika hal ini sampai terjadi, dalam konteks kebebasan beragama, pemerintah ini menyerupai otoriterisme Orde Baru. Bahkan lebih buruk dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ironinya, langkah pemerintah ini dilakukan setelah kita bersusah payah merebut dan membangun demokrasi.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
Tambah Yuk
Widget by IB | Template Design

Artikel Terkait:

Widget by:IB | Template Design

0 komentar:

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Pengikut

© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design